![]() |
Jembatan Cipunagara Pamanukan |
Kisah ini ditulis berdasarkan kesaksian Supena, yang dituturkan
bebera waktu silam. Kejadiannya berlangsung saat Supena menjabat
seketris desa atau juru tulis di sebuah desa yang terletak di kecamatan
Pusakanegara, Kabupaten Subang, Jawa Barat.
Lelaki itu semakin hari semakin menderita setelah ditinggal anak
perempuannya. Anaknya yang baru berusia lima tahun itu merenggut ajal di
pinggir sungai Cipunagara.
Sejak kehilangan sang anak, Dirta, si lelaki itu, selalu melamun di
tepi sungai Cipunagara, dan terkadang dia bicara sendirian lalu
tersenyum. Begitulah hari-hari yang dilewati Dirta semenjak empat bulan
yang lalu ditinggal mati anak perempuan semata wayangnya. Rasa menyesal
di hatinya membuat goncangan hebat di dalam jiwanya.
Bermula dari kemarau panjang, menjelang akhir tahun. Karena kondisi
perekonomian yang sulit, banyak warga yang terpaksa makan nasi aking.
Kejahatan pun semakin merebak di berbagai perkampungan penduduk.
![]() |
Jembatan Kereta Cipunagara Subang 1910 |
Kebiasaan mencuri, merampok disertai penganiayaan kepada korban bukan
kejadian aneh lagi ketika itu. Aku sebagai juru tulis alias sekdes
cukup kewalahan menerima pengaduan dari masyarakat yang menyangkut
pencurian, bakik hewan ternak maupun harta benda lainnya yang melanda
warga desa. Tak terhitung pula laporan mengenai warga yang busung lapar
dan terkena penyakit menular singgah di meja kerjaku yang sudah lapuk.
Begitu banyak laporan itu dan sejujurnya saja sulit untuk ditindak
lanjuti mengingat kapasitasku yang hanya sebagai sekertaris desa. Namun
dari semuanya, hanya ada satu laporan dari warga yang aku angap menarik
untuk ditindak lanjuti, yakni tentang kematian bocah berumur lima tahun
yang mati tenggelam di sungai Cipunagara ketika sedang mencari capung
dengan teman-temannya.
Hari masih pagi, dan kayuh sepeda tuaku menuju rumah warga yang
bernama Dirta. Ada beberapa orang hadir menyambut kedatanganku. Aku
mengira jasad bocah itu langsung akan dimakamkan, tetapi setelah
diperhatikan wajah-wajah yang menyambutku tampak kebingungan dan
mengeluh.
“Jasadnya belum diketemukan, Pa Ulis!” Bisik salah seorang kepadaku.
“Memang kejadiannya kapan?” Tanyaku.
“Kemarin sore, menjelang Maghrib,” jawabnya.
“Ada bukti atau saksi saat kejadian anak si Dirta tenggelam?” tanyaku kepada ketua RT.
“Ada Pa Ulis, temannya, anak Ropiah. Dia menangis pulang sambil
membawa sepasang sandal anak si Dirta. Dia memberitahukan kejadiannya
kepada Bapaknya,” papar ketua RT.
Aku merenung sejenak, lantas aku perintahkan semua lelaki menyisir
pinggiran sungai Cipunagara menuju ke hilir mumpung hari masih pagi. Aku
pun turut serta mencari bersama-sama masyarakat. Tidak sejengkalpun
terlewati dari tatapan mata para pencari jasad anaknya Dirta.
Rerimbunan alang-alang dan semak-semak yang tumbuh subur di pinggiran
sungai Cipunagara tidak luput dari buruan pencari jasad anak perempuan
si Dirta. Teriakan-teriakan memanggil nama korban menambah hiruk-pikuk
suasana saat itu.
Menjelang Dzuhur, pencarian masih tetap nihil namun semangat warga
masih menggebu-gebu untuk mendapatkan korban. Seingatku hampir semua
lelaki yang ada di kampung Kedung Jati turun ikut mencari. Menjelang
Maghrib, pencarian dihentikan.
Seluruh masyarakat berkumpul di rumah Dirta untuk bermusyawarah
mencari solusi apa yang harus dilakukan guna mendapatkan kembali jasad
anak perempuannya. Kalau melihat keadaan sungai Cipunangara saat itu,
airnya kecil hampir tidak berarus, ini biasa tiap tahunnya bila musim
kemarau, maka tidak mungkin rasanya jasad anak perempuan si Dirta sudah
jauh terseret arus. Ya, mustahil sekali.
Saat kebuntuan datang, tiba-tiba salah seorang warga berkata, “Pak
Ulis, bagaimana kalau kita memanggil malim buaya (pawang buaya)?”
“Boleh saja. Siapa di antara kalian yang tahu orangnya?” tanyaku.
“Ada orangnya, tapi bukan orang desa sini. Jauh, Pak Ulis,” ucapnya.
“Dimana?” tanyaku penasaran.
“Di Haurgeulis. Tapi bisa dipanggil kesini!” jawabnya.
“Ya sudah, besok saja karena sekarang sudah malam,” ucapku.
Esok paginya, salah seorang kuperintahkan berangkat ke Haurgeulis.
Sambil menunggu sang pawang buaya datang, yang ada kuperintahkan untuk
turun kembali mencari jasad yang tenggelam. Siapa tahu sekarang sudah
dapat timbul atau mengambang di permukaan air.
Sementara itu, Dirta tidak henti-hentinya menangis sambil
berteriak-teriak memanggil anaknya yang tenggelam dua hari lalu.
Semenjak bercerai dengan isterinya setahun yang lalu, anaknya itu memang
ikut denganya, sedangkan isterinya pulang ke orangtuanya.
Sampai menjelang Dzuhur, yang kuperintahkan ke Haurgeulis belum juga
datang. Aku dengan bersabar menunggu di pinggir sungai Cipunagara sambil
memperhatikan orang-orang yang sedang mencari jasad anaknya si Dirta.
Memang bila musim kemarau, airnya dangkal hanya sebatas lutut hingga
perut orang dewasa. Tetapi ada lokasi-lokasi tertentu yang dipercaya
masyarakat di sekitar Cipunagara menyebutnya Kedung (lubang besar
dibawah air) yang cukup dalam. Tempat ini adalah lokasi bersemayam
makhluk halus, penunggu atau penghuni kerajaan siluman air sungai
Cipunagara.
Ya, sungai Cipunagara yang membentang dari selatan ke utara itu
memang menyimpan mitos daerah-daerah yang dilaluinya. Mulai dari wilayah
Kabupaten Sumedang, sampai ke hilir di wilayah Pamanukan, Kabupaten
Subang.
Mitos-mitos bermunculan seperti kisah sepasang pengantin di larang
menyeberang sungai Cipunagara, atau orang diluar wilayah tersebut janga
mandi di sungai itu. Dan memang, mitos itu berlaku hingga sekarang dan
terbukti ada yang jadi korban.
Masyarakat sepanjang sungai ketika penumpasan G30S/PKI hampir setiap
hari menguburkan mayat-mayat yang mengambang dari hulu menuju hilir,
dalam keadaan tidak utuh lagi. Ada yang tangannya hilang atau kepalanya
tidak ada, isi perutnya kosong dan alat vital hilang, dan banyak lagi.
Setelah Ashar, pawing buaya yang ditunggu akhirnya datang. Aku
selesai shalat Ashar di surau tidak jauh dari rumah Dirta. Sebelum
terjun ke lokasi, Dirta dipanggil ke surau. Orang yang dipanggil Abah
dengan keahlian pawang buayanya itu meminta Dirta untuk menceritakan
awal kejadianya.
Kadang-kadang aku dan warga ikut nimbrung untuk melengkapi cerita
Dirta. Sesekali pria setengah baya bertubuh kecil yang dipanggil Abah
itu manggut-manggut, dengan mulut komat-kamit dan matanya dipejamkan
beberapa saat.
“Dirta, anakmu ada di suatu tempat yang aman. Makan dan minum disediakan,” ucap Abah sambil tersenyum.
Semua yang hadir saat itu senang mendengarnya.
“Tetapi anak itu bukan di alam manusia!” demikian tegas Abah.
Suasana hening dan tegang. Apalagi, Dirta ingin segera Abah melanjutkan ucapannya.
“Anakmu ada didunia yang tidak tampak oleh mata sembarangan orang.
Persisnya dia ada di alam lelembut penguasa kerajaan Kedung Cipunagara,”
terang Abah.
“Apakah bisa diambil kembali, Abah?” tanyaku.
“Bisa!” Jawab Abah, singkat.
“Tetapi nanti bila kita kesana. Abah minta kepada Dirta, apa yang ada
di depan matamu harus diakui. Ingat itu!” Ujar Abah memperingatkan
Dirta.
“Baiklah, Abah!” ucap Dirta.
Abah melanjutkan lagi ucapannya, seraya sepasang matanya melihat
orang-orang yang ikut riungan saat itu, “Abah minta seorang saksi dari
pihak aparat desa sini. Apakah ada?” tanyanya.
“Ada, Bah. Pak Ulis Supena ini!” jawab beberapa warga serempak menunjukku.
“Pak Ulis siap jadi saksi?” tanya Abah.
“Insya Allah siap, Bah!” jawabku, singkat.
“Nanti kita bertiga…Abah, Dirta dan Pak Ulis berangkat ke raja
penguasa Kedung Cipunagara, supaya anak Dirta dikembalikan. Tetapi
seperti yang sudah Abah katakan, apapun yang kamu lihat di sana harus
diakui. Mengerti, Dirta?” Abah menerangkan sambil mengingatkan kembali
kepada Dirta.
Dirta mengangguk, “Ya, Bah!” tegasnya.
Setelah semua siap, kami berangkat menuju sungai Cipunagara. Warga
mengikuti dari belakang, ingin menyaksikan apa yang akan terjadi. Aku
sedikit tegang, juga bertanya-tanya di dalam hati, apa yang akan
dilakukan sang pawang buaya ini?
Abah menyuruh yang lain agar menunggu saja di bibir sungai. Sementara
aku dan Dirta disuruh turun ke air. Sang pawang dengan diapit oleh aku
dan Dirta. Tangan kananku dipegang erat-erat oleh tangan kiri Abah, dan
tangan kiri Dirta dipegang erat-erat oleh tangan kanan Abah.
Kami disuruh menghadap ke tengah sungai lalu memejamkan mata, dan
diminta jangan sekali-kali membukanya sebelum ada perintah dari Abah.
“Jangan pula kalian menengok ke belakang!” pesan Abah.
Entah berapa lama berlalu, kudengar Abah berucap agar kami segera
membuka mata. Aneh, saat aku membuka mataku, yang di hadapanku bukan
lagi air sungai Cipunagara, melainkan jalan lurus dengan bunga-bunga
tumbuh di sampingnya. Indah sekali. Rumah-rumah berderet tertata rapi,
bersih tidak ada sampah.
Sepanjang jalan yang kami, lalui aku tidak henti-hentinya berdecak
kagum di dalam hati menyaksikan keanehan dan keindahan yang tampak di
depan mata. Waktu itu kami juga berpapasan dengan sejumlah penduduk yang
ramah-ramah, selalu mengangguk dan tersenyum saat berpapasan dijalan
dengan kami.
Uniknya, pakaian yang dikenakan sama warnanya, hitam. Kepala mereka
juga memakai ikat warna hitam pula, baik perempuan maupun laki-laki.
Kami bertiga terus saja berjalan, mengikuti Abah dari belakang.
Semakin jauh melangkah semakin banyak orang kami temui, seperti layaknya
memasuki pusat kota tetapi tidak kutemui kendaraan. Semua berjalan
kaki. Sekali-kali Abah bersalaman, berbincang-bincang seperti yang sudah
kenal sebelumnya, dengan orang yang dijumpainya.
“Pak Ulis, sekarang ini kita berada di dasar sungai Cipunagara, dan
sebentar lagi kita sampai ke tempat dimana anak Dirta berada,” bisik
Abah kepadaku.
Banyak sekali sebenarnya pertanyaan-pertanyaan di benakku yang akan
kusampaikan kepada Abah, seperti kenapa tidak keluar keringat meskipun
rasanya aku merasakan berjalan ini sudah lama sekali?
Kenapa aku merasa hari itu terang di siang hari, tetapi ketika aku
tengadah tidak melihat letak posisi mataharinya? Kubiarkan
pertanyaan-pertanyaan ini memenuhi benakku, sampai selesai tugas ini.
Semoga saja kami semua selamat berkat lindungan Tuhan Yang Maha Esa.
Kami berjalan agak sedikit di pelankan ketika melihat di depan ada
sepasang gapura dengan dua penjaga memegang tombak dan perisai di
tangannya yang kekar berotot. Pakaiannya seperti pakaian wayang orang di
televisi. Kelihatannya galak dan berwibawa. Mungkin karena pengaruh
postur tubuhnya yang tinggi besar, rambutnya gimbal sepunggung.
“Sampurasun, Gusti Punggawa!” ucap Abah memberi salam sambil membungkukan badan kepada kedua penjaga pintu gerbang.
“Rampes, Abah. Ada perlu apa Abah ke sini?” jawab salah seorang
punggawa dengan suara menggema, yang sepertinya sudah mengenal Abah
“Abah kangen saja, ingin bertemu dengan paduka raja. Apakah beliau ada di istananya?” tanya Abah.
“Ada, Abah. Kebetulan kanjeng raja baru pulang berburu, sekarang ada di paseban rempugan dengan para patih,” jawabnya.
“Ada masalah apa punggawa?” tanya Abah.
“Hamba kurang tahu masalahnya, Abah. Lebih baik Abah masuk saja ke
paseban kalau ingin menemui raja,” ucap penjaga pula sambil
mempersilahkan kami masuk dengan sebelah tangannya.
Kami berjalan lagi melewati sebuah lapangan luas seperti alun-alun,
sebelum akhirnya kami tiba di sebuah istana yang sangat megah dengan
arsitektur mirip dengan istana-istana raja tempo dulu yang masih tersisa
hingga sekarang.
Aku seperti di alam mimpi, tetapi saat tanganku kucubit terasa sakit.
Dirta juga banyak diam. Mungkin benaknya sama denganku, banyak
menyimpan pertanyaan tentang perjalanan ini yang belum sempat ditanyakan
kepada Abah.
Kami tiba di paseban. Semua yang diruangan menyambut kami dengan
ramah, terutama kepada Abah, yang sepertinya sudah mereka kenal
sebelumnya. Kami dipersilahkan duduk bersila setelah bersalaman.
Di kursi yang mewah dan antik, duduk seorang yang dihormati oleh
bangsanya. Sosok yang kharismatik berwibawa dengan pakaian kebesaran
yang bergemerlapan emas permata.
“Selamat datang di negeri kami. Ada apa gerangan Abah dan rekan-rekan sudi datang ke negeri kami ini?” tanya sang raja.
“Sebelum Abah menjawab, lebih dahulu terimalah sembah dan sujud Abah
dan teman-teman kepada yang mulia paduka raja penguasa kerajaan Kedung
Cipunagara,” ucap Abah sambil membungkuk badan, lalu diikuti olehku dan
Dirta.
“Diterima sembah sujud Abah. Salam sejahtera sebaliknya untuk bangsa
manusia yang mempunyai derajat yang lebih tinggi dari pada bangsaku di
sisi Yang Maha Kuasa Pencipta Alam Semesta,” ucap sang raja merendah,
sambil tidak lepas seulas senyum menghias bibirnya.
“Terima kasih atas sambutan dan doa dari padaku raja. Terlebih dahulu
Abah akan mengenalkan orang-orang yang Abah bawa, yang pertama adalah
juru tulis Supena,” ujar Abah menunjuk kepadaku.
“Dan ini di sebelahnya Dirta, warga Pak Ulis Supena. Abah datang
kesini hanya perantara saja. Abah hanya menolong Dirta, kanjeng raja,
yang lagi kesusahan. Coba ceritakan sendiri kesusahanmu Nak Dirta kepada
sang raja,” ucap Abah sambil menolek kepada Dirta supaya bicara sendiri
maksud kedatangannya.
Dirta kelihatan gugup dan gelagapan saat diberi kesempatan untuk
bicara sendiri. Melihat Dirta seperti itu, walau tanpa disuruh, aku yang
bicara mengenai maksud kedatangannya.
“Begini, paduka raja. Hamba di sini bicara mewakili Dirta karena
selaku pengurus masyarakat, hamba berkewajiban menolong masyarakat hamba
yang membutuhkan pertolongan.”
“Bagus…bagus, Pak Ulis. Silahkan Pak Ulis yang bicara maksud
kedatangan Dirta ke tempat hamba ini!” ucapnya mempersilahkan aku untuk
bicara.
Aku menarik nafas beberapa kali sebelum memulai. “Saat itu, dua hari
yang lalu, anak perempuan Dirta sedang main dengan temannya di pinggir
sungai Cipunagara. Tetapi temannya pulang mengabarkan ke warga kampung,
bahwa anak Dirta terperosok ke sungai kemudian tidak timbul lagi sampai
sekarang.
Begitulah maksud kedatangan hambar ke sini, ingin menanyakan apakah
anaknya Dirta ada disini, Paduka? Dan sekalian dengan ijin paduka kami
ingin membawa pulang kembali!” Ucapku dengan tutur bahasa yang lemah
lembuh supaya jangan ada yang tersinggung.
Sebelum membahas mengenai anak perempuan Dirta, sang raja melemparkan
pertanyaan ke para patih yang hadir saat itu dengan suara yang nyaring,
sehingga membuat aku kaget.
“Wahai para patih, apakah ada di antara kalian yang berani-beraninya
mengganggu anak manusia?” Teriaknya menggema mengisi ruangan paseban.
“Ampun gusti, hamba yang hadir di ruangan ini tidak berani melanggar
peraturan yang telah ditetapkan oleh paduka raja, bahwa rakyat kerajaan
Keduan Cipunagara dilarang mengusik apalagi membawa bangsa manusia ke
negeri ini,” kata salah seorang patih.
“Pa Ulis…Abah…Dirta, kalian dengan sendiri apa yang dikatakan patihku tadi, bukan?” Ucap raja dengan suara rendah.
“Ampun, gusti! Hamba mendengarnya! Hamba kesini bukan menuduh tetapi
hanya bersifat menanyakan semata, hamba tidak menuduh,” Abah menjelaskan
sembari mengangkat kedua tangannya.
“Maaf beribu maaf, paduka gusti! Seperti yang sudah Abah katakan
tadi, kami kesini hanya menanyakan. Kalau memang ada, terima kasih.
Tetapi kalaupun tidak ada, kami haturkan terima kasih pula atas
keramahtamahan, kesedian paduka raja menerima hamba bertiga datang
kesini,” kataku melengkapi kata-kata Abah.
“Seperti yang sudah hamba katakan, bahwa bangsa manusia mempunyai
derajat yang lebih tinggi daripada bangsa kawula dan sudah menjadi
ketetapan bangsa kawula selama ribuan tahun bahwa nenek moyang bangsa
kawula melarang keras mengganggu manusia, apalagi memangsanya. Karena
manusia makhluk yang paling mulia di hadapan Sang Pencipta,” sabda sang
raja disambut anggukan kepala oleh para patih.
Keadaan hening sejenak di paseban. Semua membisu tidak bersuara.
“Coba ingat-ingat lagi, Patih. Apakah ada laporan dari masyarakat dua
hari yang lalu?” ujar sang raja kepada para patih yang hadir, memecah
kehingan.
“Ampun gusti! Hamba hanya menerima laporan dari warga Pancerkulon
yang menangkap seekor anak kambing karena mengganggu tanaman sayuran dan
sekarang anak kambing itu sudah ditangkap lalu hamba simpan di istal,”
ucap salah satu patih memberitahukan kepada rajanya.
“Apakah itu milikmu, Dirta?” tanya sang raja.
“Ampun gusti. Hamba orang miskin, hamba tidak punya kambing!” jawab Dirta, singkat.
Mendengar jawaban Dirta seperti itu, mendadak Abah jengkel. Kenapa
dia tidak mendengar nasehatnya saat riungan di surau, apa yang dilihat
atau dikatakan harus diakui apapun bentuknya. Tapi, Abah tidak bisa
berbuat apa-apa di hadapan sang raja.
Setelah berbasa-basi, kami bertiga akhirnya pamitan pulang. Kami
berjalan memotong, bukan jalan yang tadi sewaktu berangkat. Kami berdua
disuruh Abah menutup mata, ketika kami disuruh membuka mata kembali,
kami sudah berada dipinggir sungai Cipunagara dengan air sebatas lutut
kami.
Tapi kenapa bajuku tidak basah? Sungguh pengalaman yang luar biasa,
dan tak akan kulupakan seumur hidupku. Penyesalan yang sungguh teramat
sangat, ketika Abah menyalahkan Dirta, yang tidak memegang nasehatnya
sebelum berangkat.
“Dunia kita dengan dunia siluman buaya sangat berbeda. Tidak sama
seperti manusia melihat manusia. Kalau wujud asli buaya tampak di
permukaan air memangsa manusia, kemudian menyeretnya ke dalam air, itu
yang dilihat buaya bukan wujud manusia lagi, tetapi bisa kambing,
celeng, atau hewan-hewan lainnya.
Begitu pula sebaliknya pada manusia, apabila hanya dilihat dengan dua
mata kita wujud mereka adalah buaya. Akan tetapi apabila manusia
melihatnya dengan mata batin akan timbul keakraban sesama makhluk
ciptaan yang Maha Kuasa seperti yang Pak Ulis Supena alami bersama Abah
tadi.” Kata Abah panjang lebar, sebelum dia kembali ke Haurgeulis.
“Lantas, bagaimana nasib anak Dirta, Abah? Apakah jasadnya akan
mengambang dan bisa kami kuburkan sebagaimana layaknya?” tanyaku,
penasaran.
“Mudah-mudahan!” ujar Abah, datar.
Enam bulan sudah Dirta menanti penantian yang sia-sia di pinggir
sungai Cipunagara, anaknya datang hanya didalam mimpi dan memberi
senyuman.
“Bapak aku tidak jauh darimu. Tengoklah anakmu menjelang maghrib di Cipunagara. Pasti ada!” Pesannya.
Batinnya terpukul waktu pertama kali menunaikan pesan mimpinya. Di
hadapannya ada sesuatu yang besar dan panjang sedang menantinya. Dia tak
lebih seekor buaya. Buaya itu menghilang masuk ke air.
Dirta menjerit sekuat tenaga memanggil nama putrinya. Sejak itu, tiap
menjelang Maghrib, Dirta duduk di pinggir sungai Cipunagara menanti
anaknya. Kadang-kadang tertawa, kadang-kadang meratap-ratap
memangil-manggil nama anaknya.
Sampai aku mengundurkan diri jadi juru tulis karena uzur, jasad anak
Dirta tidak diketemukan lagi. Bahkan Dirta sendiri menghilang entah
kemana. Warga tidak mengetahui, cuma tiap menjelang malam ada bunya
kecil suka menampakkan diri pada warga yang sedang mandi di sungai.
(Petikan)