Gloria Natapradja Hamel, siswa anggota Paskibraka yang dibatalkan
lantaran tercatat memiliki status dua kewarganegaraan, yaitu Indonesia
dan Prancis, lahir dari seorang ibu asal Subang bernaman Ira Hartini
Natapradja. Setelah lulus SMA, Ira Hartini ke Jakarta lalu bertemu
dengan jodohnya warga negara Prancis Didier Hamel dan menetap di Depok.
Diketahui Ira Hartini berasal dari Desa Cikuda, Kecamatan Cipeundeuy,
Subang. Selain itu ibunya Gloria ini juga merupakan lulusan dari SMA
PGRI 2 Subang tahun 1997.
Kepala SMA PGRI 2 Subang, Evi Mariani Erief mengatakan, orang tua Gloria bernama Ira Hartini benar merupakan lulusan SMA PGRI 2 Subang atau yang dikenal SMA Petang.
“Iya memang betul ibunya Gloria itu dulunya lulusan
SMA PGRI 2 Subang,” katanya saat dihubungi Pasundan Ekspres, Rabu
(17/8).
Sebagai kepala sekolah SMA PGRI 2 Subang ia bangga seorang lulusan
sekolahnya bisa melahirkan anak yang berprestasi hingga terpilih seleksi
Paskibraka tingkat nasional, meski dibatalkan karena persoalan
kewarganegaraan.
Ia pun turut bersuara mengenai dibatalkannya Gloria pelajar SMA Islam Dian Didaktika Depok, Jabar itu dari Paskibraka. Menurutnya, Gloria tidak salah dalam hal ini.
Seharusnya penyeleksian dari awal untuk calon Paskibraka bisa lebih
teliti sehingga tidak jadi persoalan seperti ini. “Kalau sudah begini
kan, kasihan ke psikologis Gloria itu,” ujarnya.
Sementara teman ibu Gloria, warga Ciereng, Subang, Dicky Fitriana yakin bahwa Gloria adalah anak sahabat satu kelasnya Ira Natapraja setelah melihat di televisi. Menurut Dicky, Ira saat masih di SMA juga aktif menjadi anggota Paskibra.
“Saya yakin Gloria itu anaknya Bu Ira Natapraja setelah lihat acara di tv. Teman saya satu kelas di SMA Petang. Ya ikut bangga juga, tapi kasihan Gloria, padahal berprestasi. Kasihan Gloria tidak tahu apa-apa,” tutur Dicky.
Seperti ramai diberitakan di berbagai media, anggota Paskibraka dari Jawa Barat itu batal dikukuhkan karena tercatat memiliki dua kewarganegaraan, yaitu Indonesia dan Prancis.
Meski begitu, Menpora tetap memberikan apresiasi kepada Gloria karena
berusaha untuk menjadi anggota Paskibraka nasional. Menpora mengangkat
Gloria sebagai Duta Kemenpora.
Untuk mengurangi kekecewaannya, akhirnya istana memberi kesempatan kepada Gloria menjadi pasukan penurunan bendera merah putih di Istana Negara kemarin sore.
Dalam analisis ahli hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra, tidak ada
dasar hukum yang kuat sehingga Gloria bisa bergabung dengan Paskibraka
meski hanya dalam upacara penurunan.
Menurut Yusril, bedasarkan Peraturan Menpora Nomor 0065 Tahun 2015
tentang Penyelenggaraan Paskibraka, syarat untuk menjadi anggota pasukan
pengibar duplikat bendera pusaka dalam perayaan HUT Kemerdekaan RI di
Istana Negara haruslah warga negara Indonesia (WNI). Sementara Gloria,
kata Yusril, jelas bukan WNI jika merujuk pada aturan perundang-undangan
yang berlaku.
“Gloria lahir tahun 2000 dari perkawinan campuran. Ayahnya WN Perancis, ibunya WNI. Berdasarkan UU Nomor 62 Tahun 1958 (tentang Kewarganegaraan RI, red) yang berlaku ketika itu (tahun 2000) Gloria pasti WN Perancis dan bukan WNI,”
Mantan menteri hukum dan HAM itu menjelaskan, UU 62 Tahun 1958
menganut garis darah ayah atau ius sanguinis patriachat. Karenanya, kata
Yusril, mustahil jika Gloria kewarganegaraan ganda.
“Karena UU yang mengatur adanya dwikewarganegaraan baru disahkan tahun 2006, enam tahun setelah Gloria lahir. UU itu tidak berlaku surut. Paspor Gloria seperti yang diakuinya adalah paspor Prancis,” ujar Yusril.
Ia menambahkan, Gloria mungkin punya kartu izin tinggal tetap (KITAP) dari imigrasi. Sebab, orang tuanya tinggal di Indonesia.
Namun, Yusril menegaskan bahwa Gloria bukanlah WNI. “Sehingga menurut
hukum, Gloria tidak boleh menjadi anggota Paskibraka, walau hanya untuk
menurunkan saja,” tegasnya.
Karenanya Yusril meminta Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden
Jusuf Kalla menjelaskan dasar hukum yang menjadi alasan sehingga Gloria
bisa bergabung dengan Paskibraka. Terlebih, Yusril justru menganggap
Gloria merupakan korban ketidakcermatan dalam rekrutmen anggota
Paskibraka.
“Saya simpati pada Gloria karena dia adalah korban. Apakah dibolehkannya Gloria menurunkan bendera menunjukkan pengakuan bersalah Presiden dan Wakil Presiden, untuk menghindari gugatan Gloria dan orang tuanya karena merasa telah dipermalukan di depan publik?” ulasnya.
Karenanya Yusril menyebut pemerintah berada dalam posisi dilematis
dalam menghadapi persoalan Gloria.
“Pemerintah akhirnya bagai dihadapkan
pada buah simalakama: membolehkan Gloria supaya terlihat bijaksana,
tapi risikonya melakukan pelanggaran hukum,”
Tak hanya siswa di SMA, siswa SMP dan SD serta guru-guru pun ikut prihati?n dengan nasib Gloria.
Sebagai rasa simpati terhadap Gloria, seluruh siswa SD, SMP, dan SMA Islam Dian Didaktika berkumpul memberikan dukungan moriil.
“Kami
berharap Gloria tetap bersemangat dan tetap cinta Indonesia. Kalaupun
Gloria dicoret karena punya paspor Prancis. Kami kenal Gloria, anaknya
sangat nasionalis,” kata Dwi, salah satu guru SD Islam Dian Didaktika
kepada JPNN, Selasa (16/8).
Aksi simpati berlangsung tertib dan diisi dengan renungan maupun doa
penyemangat bagi Gloria. Meski gagal dilantik jadi anggota Paskibraka,
mereka mengingatkan Gloria bahwa masih ada jalan lain baginya untuk
menunjukkan sikap nasionalisnya.
“Kami bersyukur kalau Gloria nantinya diangkat jadi salah satu Duta Kemenpora, paling tidak ini bisa membuat semangat Gloria bangkit lagi,” tandasnya.(pe)