www.gspradio.com
Kamis, 06 Februari 2020
Targetkan Tanam 1.000 Pohon Tahun 2020 : Petani muda asal Subang, Dedi Sumardi berhasil
mengembangkan buah naga kuning tanpa duri. Dia mengklaim pertama kalinya
mengenalkan buah naga kuning tanpa duri ke publik.
Mang Dedi sapaan
akrabnya, kesehariannya tidak pernah jauh dengan tanaman kaktus ini.
Kecintaannya terhadap buah naga yang sudah belajar menanam sejak tahun 2011
tersebut mampu membaca peluang. Berawal
dari media sosial, Dedi diminta bertukar bibit buah naga oleh kawannya di
Thailand. Dia kemudian menghubungi pihak perkebunan di Thailand untuk
mengirimkan bibit tersebut.
“Pada Tahun
2019 pertama kali dikembangkan di Indonesia sudah terlihat hasilnya buah naga
tersebut,” ungkapnya.
Buah naga kuning
tanpa duri tersebut ditanam di Kiwari Farm Lebaksiuh, Kampung Cigebang dan
Purwadadi. Sudah ada 100 pohon yang ditanam. Target tahun ini bisa menanam
1.000 pohon. Dedi optimis dalam waktu dekat akan bertanam dalam jumlah besar
sehingga buah naga kuning tanpa duri ini akan segera dinikmati oleh masyarakat.
“Ke depan buah naga kuning tanpa duri ini kemungkinan bisa menggantikan buah
naga merah dan putih yang saat ini berkembang di Indonesia,” ujarnya.
Dedi
menjelaskan, buah naga kuning tanpa duri juga dikenal dengan sebutan Isis Gold
atau Golden Dragon. Buah naga ini pertama kali di Produksi dan dipopulerkan di
Israel pada tahun 1990-an. “Buah naga ini adalah hasil persilangan manual
antara buah daging putih kulit merah dengan buah naga kuning dari Colombia.
Dua
buah asli Amerika Selatan dan bukan hasil rekayasa Genetika. Profesor dan
peneliti di Israel berharap buah naga ini mampu bersaing di pasar global,”
jelasnya.Keunggulan buah naga kuning tanpa duri ialah mampu beradaptasi pada
dataran rendah dan tinggi.
Kata dia, hal itu karena masih sama dengan buah naga
putih (Hylocereus Undatus) hanya saja kulitnya berwarna kuning terang karena
mampu berdaptasi pada kondisi lahan yang marjinal dan kekurangan air sehingga
perkembangannya sangat cepat.
“Berbeda dengan buah naga kuning yang terdahulu
yang berasal dari Colombia dan Ecuador,” ujarnya.
Dia mengatakan, buah naga Colombia harus
ditanam di ketinggian antara 600 – 1500 Mdpl. Jika ditanam pada dataran rendah
maka buahnya rata-rata hanya sebesar ibu jari kaki atau 150 gram – 200 gram
saja. Alhasil saat ini hanya mampu produksi di dataran tinggi saja seperti di
Surabaya dan Bali hanya sekala kecil saja.
Sementara buah naga Palora, kata
dia, yang hampir mirip dengan buah naga Colombia ini relatif berkembang baik di
dataran rendah tetapi hasilnya tidak maksimal rata – rata buahnya kisaran 250 –
350 gram saja.
“Karena habitat aslinya di dataran menengah ke atas sehingga
keduanya kurang berkembang baik di Indonesia. Petani buah naga banyak di
dataran rendah seperti Riau, Kalimantan dan Sumatera juga para petani di Jawa
timur,” ujarnya. Berbeda dengan buah naga kuning tanpa duri yang mampu
beradaftasi pada kondisi lahan marginal dan ekstrem yang kekurangan air,
sehingga perkembangannya pasti sangat cepat. (pe)