Budaya GSP - Musim panen telah tiba,
petani beberapa wilayah di Kabupaten Subang telah bersiap memanen padi di
sawah, yang beberapa bulan kebelakang di rawatnya. Bahkan tidak sedikit dari
mereka ada juga yang sudah memanennya. Namun ada yang menarik jika melihat
ritual memanen padi yang dilakukan oleh petani di pagaden barat, mereka masih
menjalankan ritual mitembeyan.
Mitembeyan merupakan
salah satu upacara tradisional yang diadakan oleh masyarakat petani. Para
petani biasanya melakukan upacara tradisional ini sebelum memanen padi. Desa
Bendungan Kecamatan Pagaden Barat Subang adalah salah satu daerah yang sampai
saat ini mempertahankan upacara tradisional Mitembeyan.
Dijelaskan Mahasiswa tingkat akhir ISBI Bandung, yang sedang
melakukan penelitian terkait ritual tersebut, Esza Baran mengatakan jika
upacara tradisional tersebut merupakan ungkapan rasa syukur para petani
terhadap dewi padi yaitu Nyi Pohaci Sanghyang Sri.
Kata Esza, Biasanya mitembeyan dilakukan oleh petani yang
mempunyai sawah dengan mengucapkan do’a meminta berkah. Upacara ini dilakukan
di sawah pada tanaman padi yang akan dipanen sambil membawa sesajen.
“Adapun perlengkapan sesajen untuk upacara tradisional
mitembeyan yaitu rujak cau, rujak kalapa, bubur merah, bubur putih, kelapa
hijau, asem, gula merah, sirih, tali kapan, bunga tujuh rupa, kopi pahit, kopi
manis, cermin, congcot tumpeng, parukuyan, kemenyan, minyak wangi, kupat
tantang angin, dua ikat padi, telur ayam dan bakakak hayam,” jelas Esza.
Mitembeyan dilaksanakan dalam dua hari
Sedangkan dalam pelaksanaannya, dia melanjutkan, mitembeyan
dilaksanakan dalam dua hari. Hari pertama petani atau yang punya sawah
mengelilingi sawah terlebih dahulu sambil membaca doa-doa secara
berulang-ulang. “Setelah mengelilingi sawah, sesajen yang dibawa ditinggalkan
di sawah tersebut. Prosesi panennya nanti, pada hari kedua, setelah doa dan
baru lah padi dipanen,” tambahnya.
Salah seorang petani di Pagaden Barat, Warta (75) mengaku bahwa
dirinya masih melakukan ritual tersebut dengan alasan kepercayaan dan keyakinan
yang telah turun temurun dilakukan oleh para pendahulu nya. Dia juga mengaku,
jika ritual tersebut tidak dilaksanakan, maka akan selalu saja ada aral
melintang dalam proses pemanenan esok harinya.
“Sudah turun menurun, dari dulu karuhun saya juga begitu. Kita
beryukur, dan berdoa agar proses panen lancar tidak ada halangan begitu, karena
kami juga meyakini jika ritual tersebut tidak dijalankan, maka akan ada saja
rintangannya,” jelasnya.
Meskipun era sudah semakin global, dengan berbagai informasinya
termasuk kecanggihan teknologi diberbagai bidang. Namun masih ada beberapa
kalangan yang masih mempertahankan kearifan lokal, yang sudah seharusnya kita
jaga bersama-sama keberadaannya agar tidak tergerus zaman, serta bisa digunakan
sebagai identitas budaya bertani di Subang. (pe)